Etika ber Media Sosial dari Sudut Pandang Hindu

Sumber gambar (https://hotpot.ai/)

Dalam ajaran Hindu, terdapat sebuah kisah mengenai Prabu Salya, raja Kerajaan Madra dalam Kitab Astadasaparwa yang merupakan bab ke-18 dari kitab Mahabarata, yaitu Parwa ke-9, Salya Parwa. Kisah tersebut mengisahkan bahwa saat perang Baratayuda, Prabu Salya menggunakan kesaktiannya yang disebut "Candra Birawa". Dengan menggunakan Ajian Candra Birawa tersebut, Salya dapat mengeluarkan Raksasa-Raksasa ganas yang akan semakin bertambah banyak jika mereka terluka.

Rudrarohastra hanya bisa dikalahkan dengan jiwa orang suci, tulus dan bijaksana. Kresna pun meminta Yudistira untuk maju melawan Salya. Alhasil Candra Birawa dapat dilumpuhkan. Kemudian ia melepaskan pusaka Kalimahosadha kearah Salya. Pusaka yang berupa Kitab itu berubah menjadi Tombak yang melesat menembus dada Salya.

Cerita Salya Parwa ini bisa menggambarkan situasi dunia waktu dilanda Pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu yang bahkan masih belum pulih benar sampai sekarang. Virus yang masih setia diantara kita, hanya mampu dibasmi, dengan keteguhan hati, serta taat akan pola hidup sehat. Kehadiran virus ini  membawa empat kebiasaan baru yaitu: teknologi baru, cara komunikasi baru, norma baru dan bisnis baru.

Selama pandemi, masyarakat dihimbau untuk mematuhi protokol kesehatan dengan rajin mencuci tangan, mengenakan masker, mengurangi mobilitas, dan menerapkan social distancing. Hal ini telah mempercepat familiaritas manusia dengan dunia maya. Pengguna secara aktif terlibat dalam lingkungan digital yang menawarkan berbagai konten menarik melalui platform media sosial seperti TikTok, YouTube, WhatsApp, dan lain sebagainya.

Paham kemajuan internet ibarat pisau bermata dua. Ada yang bermanfaat bagi kehidupan kita, ada pula yang merugikan. Kemajuan teknologi membawa dampak positif yang ditandai dengan efisiensi masyarakat dalam menjalani kehidupannya, baik di bidang pendidikan, transportasi, kesehatan, perbankan, dan lain sebagainya.

Di sisi lain, terdapat juga dampak negatif yang muncul dalam bentuk pelanggaran hak cipta, penipuan, hoaks, dan kemerosotan moral demi keuntungan pribadi. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan yang belum sepenuhnya baik dalam diri (asurisampad), serta kurangnya kemampuan untuk mengendalikan diri demi mengejar kepuasan duniawi.

Ada tiga hal yang menjadi sumber masalah apa bila tidak dikendalikan, yaitu : pikiran, perkataan, dan jari tangan (perbuatan). Mengapa jari tangan menjadi hal menakutkan? Dengan adanya platform digital yang mudah diakses dengan hanya membuka gawai dan sentuhan jari, maka segala informasi mudah didapatkan dari perangkat yang kita miliki.

Bagaimana bermedsos yang baik menurut Hindu?

Pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan merujuk pada dasar etika Hindu yang terdapat dalam ajaran Sarasamuccaya 160, yang menyatakan bahwa 

"Susila adalah hal yang paling utama. Ajaran tentang susila harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, karena di dunia inilah tempat kita melakukan karma. Marilah kita tingkatkan sifat-sifat yang baik agar menjadi karma yang baik pula."

Dalam penjelasan yang lain, Sarasamuccaya 81 menyatakan: 

"Inilah yang tidak patut dalam setiap perilaku berkata yang berjumlah empat macam seperti: berkata jahat, berkata kasar, memfitnah, dan berkata sombong. Itulah konon empat macam perkataan yang harus tidak diucapkan dan tidak diangan-angankan".

Lebih lanjut Ninisastra Sargah V Sloka 3 menjelaskan : 

"Wasita nimitanta manemu laksmi, Wasita nimitanta manemu pati, Wasita nimitanta manemu dukha, Wasita nimitanta manemu mitra."

Artinya :

Karena ucapan bisa menemukan kebahagiaan, Karena ucapan bisa mendatangkan kematian, Karena ucapan dapat mendatangkan penderitaan, Karena ucapan juga bisa mendapatkan kawan.

Para pemilik media sosial memiliki kebebasan untuk mengungkapkan diri melalui posting, mengunggah, berbagi, atau mengomentari suatu konten. Namun, hal ini juga memicu munculnya hoaks sebagai virus negatif yang dapat menyebarkan ujaran kebencian, penyebaran informasi palsu, dan akhirnya dapat berujung pada tindak kejahatan.

Ada dua hal yang mampu membatasi masalah tersebut. 

  1. Pertama, kehadiran Undang-Undang IT yang mengatur konten yang diposting. 
  2. Kedua, adalah penerapan konsep Hindu yang menjadi panduan dalam berinteraksi di media sosial dengan prinsip Tattwam Asi. 
  3. Selain itu, penting juga untuk menggunakan prinsip Tri Kaya Parisuda. Pertimbangkan dengan matang sebelum berbicara atau mengunggah sesuatu, kemudian gunakan bahasa yang santun, dan berkontribusilah secara bijaksana saat berpartisipasi di platform tersebut.
Oleh karena itu meskipun semua sudah dalam gemgaman, ujung jari mengambil peran sebaiknya kendalikan, Sad Ripu, Sapta Timira, Tri Mala dan sifat Asurisampad agar tercipta keharmonisan.

Jadi dalam ber-media sosial pun ada tata krama yang mesti dipatuhi, tetapi tidak cukup untuk dipatuhi saja, yang lebih penting lagi melaksanakan dalam kebiasaan sehari-hari.


Referensi:

Kompilasi dari berbagai sumber.


Puput

Sarwa Samastha Sukino Bhawanthu

Om Shanti Shanti Shanti Om. 

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post