Tokoh di Balik Perkembangan Agama Hindu di Bali

Sumber Gambar (https://hotpot.ai/)

Om Awighnamastu

Membahas tentang agama Hindu di Bali merupakan sebuah topik yang menarik, karena agama Hindu di Bali memiliki keunikan yang tidak ditemukan di daerah lain. Meskipun terdapat perbedaan antara agama Hindu di Bali dengan agama Hindu di luar Bali, namun secara filsafat / tattwa, keduanya sebenarnya tidak berbeda karena keduanya memiliki dasar yang sama, yaitu Panca Sradha.

  1. Percaya adanya Tuhan
  2. Percaya adanya Atman
  3. Percaya adanya Hukum Karma Phala
  4. Percaya adanya Reinkarnasi/Samsara
  5. Percaya adanya Moksha.

Penjelasan mengenai perkembangan agama Hindu di Bali ini, meskipun belum lengkap, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan wawasan kita serta memberikan inspirasi dalam menciptakan kedamaian. Salah satu hal yang unik dalam agama Hindu di Bali adalah aspek ritual yang sangat khas. Pertanyaannya adalah, siapa yang berperan dalam menciptakan keunikan ini?

Ada 6 tokoh yang berperan besar dalam perkembangan agama Hindu di Bali:

1. DHANGHYANG MARKENDAYA
Pada abad ke-8 Beliau mendapat pencerahan di gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Toh Langkir (sekarang Besakih) harus ditanami Panca Datu yang terdiri dari: unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, permata mirah.

Setelah menetap di Taro, Tegal Lalang, Gianyar, Beliau memantapkan ajaran Siwa Sidantha kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual seperti: Surya Sewana, bebali (banten) dan pecaruan. 

Karena semua ritual menggunakan banten maka ketika itu agama ini dinamakan agama Bali. 

Daerah tempat tinggal Beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali, karena penduduk diseluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidantha menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali/banten.

Selain Besakih Beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan: Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, Lempuyang, Uluwatu.

Dhang Hyang Markendaya juga mendapat pencerahan ketika Sanghyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu Beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari, warna putih sebagai simbol bulan, kemudian digunakan sebagai hiasan di pura-pura antara lain berupa ider-ider dan lontek dan lalin-lain.

Di samping itu, Beliau juga memperkenalkan dua hari perayaan, yaitu Tumpek Kandang (hari perayaan hewan) yang bertujuan untuk memohon keselamatan kepada Sanghyang Widhi yang diberi gelar Rare Angon, pencipta darah, serta Tumpek Pengatag (hari perayaan tumbuh-tumbuhan) yang bertujuan untuk memohon keselamatan kepada Sanghyang Widhi yang diberi helar Sanghyang Tumuwuh, pencipta getah.

2. MPU SANGKUL PUTIH
Setelah Danghyang Markandeya moksha, Mpu Sangkul Putih meneruskan dan melengkapi ritual (Babali) antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur dari berbagai jenis tumbuhan seperti: daun sirih, daun pisang, daun janur,  buah pisang, kelapa, beras, injin, kacang koma, ketan dan sebagainya.

Bentuk banten yang diciptakan antara lain: canang sari, canang raka, canang tubungan, daksina, peras, penyeneng, tehenan, lis, nasi panca warna, dan lain sebagianya. 

Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Sanghyang Widhi agar timbul getaran spiritual. 

Disamping itu Beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar : Dukuh, Prawayah, Kebayan.
Beliau mempelopori pembuatan pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan kayu, batu, logam sebagai alat konsentrasi pemujaan Hyang Widhi.

Beliau juga memperkenalkan tata cara peringatan piodalan di pura Besakih dan di pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya seperti : Galungan, Pagerwesi, Siwaratri, Saraswati dan lain-lain.
Jabatan resmi Beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di pura Besakih dan pura lain yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.

3. MPU KUTURAN
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan besar pada kemajuan agama Hindu di Bali. Menurut R. Boris, pada masa Bali Kuno berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian.

Ardana 1989: 56, mengatakan ada 9 sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuno, antara lain: Sekte Pasupadha, Bairawa, Siwa Sidantha, Waisnawa, Bodha, Brahma, Rsi, Sora, dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersetbut Siwa Sidantha merupakan sekte yang sangat dominan.

Masing-masing sekte memuja Dewa tersendiri sebagai Istadewatanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa Istadewatanyalah yang paling berkuasa, sementara yang lain dianggap lebih rendah.

Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antar sekte yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa di tubuh masyarakat Bali Aga.

Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang membawa dampak negarif di hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Dampaknya tidak hanya mempengaruhi desa tertentu, tetapi juga merambat hingga ke pemerintahan kerajaan, sehingga mengganggu kelancaran dan stabilitas roda pemerintahan.

Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapanti mendatangkan 4 orang Brahmana dari Jawa Timur :
  • Mpu Semeru dari Sekte Siwa tiba di Bali pada hari Jumat Kliwon Wuku Pujut, Tahun Saka 921 (999 M) lalu berprahyangan di Besakih.
  • Mpu Kuturan memeluk agama Budha Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Keliwon Wuku Pahang, Tahun Saka 923 (1001 M), berprahyangan di Silayukti.
  • Mpu Gana, penganut aliran Ganapataya tiba di Bali pada hari Senin Keliwon Wuku Kuningan, Tahun Saka 922 (1000 M). Beliau berprahyangan di Gel-gel, Semara Pura, Klungkung.
  • Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmanisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis Wuku Dungulan, bertepatan, Tahun Saka 928 atau 1006 M. Berprahyangan di bukit Grigis, Lempuyang, Karangasem
Keempat Brahmana dari Jawa Timur itu sebenarnya adalah saudara kandung, namun adik mereka yang termuda, Mpu Baradah, ditinggalkan di Jawa Timur dan mengabdikan diri sebagai pemuka agama di daerah Batu Tulis, Pajarakan.

Kelima Brahmana ini dikenal sebagai Panca Brahmana atau "Panca Tirtha", karena Beliau telah melaksanakan upacara "Wijati" yaitu dharma "Kebrahmanan".

Dalam suatu rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur 3 kekuatan pada saat itu, yaitu : 
  • Dari pihak Budha Mahayana di hadiri oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidang.
  • Dari pihak Siwa dihadiri oleh Mpu Semeru.
  • Dari pihak 6 Sekte dihadiri oleh pemukanya yang merupakan orang Bali Aga.
Dalam rapat tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yang terdiri dari berbagai aliran.

Saat itu, semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa ) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak sebagai manifestasi dari Sanghyang Widhi.

Konsesus yang dicapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah Kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut "Siwa Budha" sebagai persenyawaan Siwa dan Budha.

Semenjak itu penganut Siwa Budha harus mendirikan 3 buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sanghyang Widhi dalam perwujudannya masing-masing yang bernama: 
  • Pura Bale Agung untuk memuja Dewa Brahma, perwujudan Sanghyang Widhi sebagai pencipta.
  • Pura Puseh untuk memuja Sanghyang Wisnu, perwujudan Sanghyang Widhi sebagai pemelihara.
  • Pura Dalem untuk memuja  Dewa Siwa, perwujudan Sanghyang Widhi sebagai pemralina.
Ketiga pura tersebut, disebut Pura Kahyangan Tiga yang menjadi lambang persatuan umat Siwa Budha di Bali. Dalam Pesamuahan Tiga, juga dilahirkan organisasi "Desa Pakraman" yang telah dikenal sebagai "Desa Adat" dan sejak saat itu berbagai perubahan dilahirkan oleh Mpu Kuturan dalam bidang Politik, Sosial, Spiritual.
Setelah kedatangan keempat Brahmana tersebut, terjadi perubahan dalam penulisan prasasti. Awalnya, semua prasasti ditulis menggunakan bahasa Bali Kuno, namun setelah itu mulai menggunakan bahasa Jawa Kuno (bahasa Kawi). 

Atas wahyu Sanghyang Widhi Wasa para Brahmana melahirkan pemikiran cemerlang untuk mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Tri Murti dalam wujud pelinggih di tiap rumah, pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan pembangunan pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), serta Padma Tiga di Besakih.

4. MPU MANIK ANGKERAN
Setelah Mpu Sangkul Putih Moksha, tugas-tugas Beliau diambil alih oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau Brahmana dari Majapahit, putra Danghyang Sidhimantra.
Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Sidhimantra. Tanah Genting yang putus itu disebut Segara Rupek.
5. DANGHYANG DWIJENDRA
Beliah tiba di Bali pada abad ke-14 ketika kerajaan Bali dipimpin oleh Raja Waturenggong.

Atas wahyu Sanghyang Widhi Wasa di Purancak, Jembrana, Beliau mendapat pemikiran bahwa di Bali, perlu dikembangkan paham Tri Purusa, yakni  pemujaan Sanghyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa.
Bentuk bangunan pemujaan adalah Padma Sari atau Padmasana.
Jika konsep pemujaan Tri Murti dari Mpu Kuturan adalah memujaan Sanghyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tri Purusa adalah pemujaan Sanghyang Widhi dalam kedudukan vertikal.
Ketika itu Bali mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban bangsawan di atur, hukum dan peradilan adat atau agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh disusun, awig-awig desa adat pakraman dibuat, organisasi subak dikembangkan, dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.
Selain itu Beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan Lontar, kidung-kidung, kekawin. Karya sastra Beliau yang terkenal antara lain Sebun Bangkung, Sara Kusuma, Legarang, Mahisa Langit, Dharma Pitutur, Wilet Demung Sawit, Gaguruk Manur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran dan lain sebagainya.

Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya pura untuk mengenang Beliau dimana Beliau pernah bermukim membimbing umat, misalnya: Puncak, Rambut Siwi, Uluwatu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu.

6. MPU WIJAYA
Beliau mengajarkan agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di jaman dinasti Warmadewa abad ke-9.

Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata, senjata alat perang, Topeng, Barong dan lain sebagainya.

Keenam tokoh tersebut di atas telah memberi ciri khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali, sesuai misi masing-masing tokoh, sehingga terwujudlah Tattwa dan Ritual yang khusus yang membedakan Hindu di Bali dengan Hindu di luar Bali. 

Apabila masih ada tokoh yang berperan dalam perkembangan agama Hindu di Bali, namun belum dijelaskan di sini, dapat ditambahkan untuk menambah khasanah pengetahuan bersama. 

Referensi:
Kompilasi dari berbagai sumber.

Puput.

Namo Namah Swaha
Loka Samastha Sukina Bhawanthu
Om Shanti Shanti Shanti Om.
Post a Comment (0)
Previous Post Next Post