Menelusuri Makna "Nak Mula Keto" - "Memang begitu adanya"

 

Sumber gambar: Agoda

Om swastyastu

Semoga semeton dalam keadaan sehat dan berbahagia.

Walaupun tulisan ini tidak lengkap, semoga bermanfaaat dan menambah pengetahuan bersama.

Bali adalah daerah yang unik dan memiliki kearifan lokal, salah satu diantaranya adalah frasa "Nak Mula Keto" yang secara sederhana berarti "memang begitu adanya" atau "dari dulu memang begitu". Frasa ini seringkali diucapkan para orang tua di Bali. Bila si anak bertanya tentang berbagai hal, maka jawaban singkatnya "Nak Mule Keto". Sudah cukup tidak ada diskusi lagi.

Selama bertahun-tahun, hal ini telah menjadi bagian dari tatanan masyarakat Bali. Akibatnya, perdebatan di Bali relatif jarang terjadi. Ungkapan orang tua di Bali sering kali mengandung makna bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak pantas untuk dipertanyakan. 

Seperti yang dikatakan oleh JM Sweca (1997): 

"ane madan tekes-tekes sing dadi orahang" — artinya, "sesuatu yang bersifat rahasia tidak boleh dibicarakan di depan umum."

Hal serupa juga ditemukan dalam berbagai naskah kuno. 

Dalam lontar disebutkan "tan kagrakita dening manah wuang indriya" yang berarti "tidak dapat dijangkau oleh pikiran maupun indra manusia." Bahkan dalam kitab Weda dikenal frasa: "rahasyam devam", yang berarti "Tuhan bersifat sangat rahasia."

Nak Mula Keto” dapat dimaknai bahwa manusia hanya mampu mendiskusikan hal-hal yang dapat dijangkau oleh pikiran dan dikenali oleh indriya. Di luar itu, semua berada dalam kesunyataan yang merupakan rahasia Tuhan. Keadaan ini diibaratkan seperti empat orang buta yang mendiskusikan rupa seekor gajah.

Kemudian lahirlah kaum intelektual muda — generasi yang selalu bertanya “kenapa begini” dan “kenapa begitu”. Bagi mereka, segala sesuatu harus memiliki alasan, dasar logika, serta acuan sastra atau kitab. Ungkapan “Nak Mula Keto” pun mulai dijadikan olok-olokan; siapa pun yang mengucapkannya dianggap bodoh atau ketinggalan zaman. Akibatnya, hampir semua orang terdorong untuk terus mencari penjelasan dan pembenaran atas segala hal yang terjadi dalam hidup, termasuk dalam hal adat-istiadat dan upacara.

Ditambah lagi dengan antusiasme wisatawan “non-Bali” yang selalu tertarik menanyakan hal-hal “unik” kepada masyarakat lokal, maka muncul dorongan untuk selalu menemukan jawaban atas setiap pertanyaan. Namun, kadang jawaban yang diberikan terasa tidak masuk akal, seolah-olah hanya dibuat-buat. Padahal, banyak hal di alam semesta ini memang tidak dapat dijangkau oleh logika manusia yang terbatas.

Masa terus berulang, dan permasalahan yang sama kerap dijumpai oleh generasi-generasi berikutnya. Sesungguhnya, diskusi tentang hal-hal tersebut telah berlangsung bertahun - tahun yang lalu. Dalam sejarah kehidupan manusia, dengan keterbatasan indriya dalam memahami alam semesta, tidak semua doa terkabul dan tidak setiap peristiwa dapat ditemukan penjelasannya. Seperti halnya banjir bandang yang pernah melanda Banjarmasin beberapa tahun lalu—kejadian semacam itu sering kali menjadi bukti bahwa baik yang pintar maupun bodoh, kuat maupun lemah, berkuasa maupun rakyat biasa, semuanya dapat dihadapkan pada kenyataan hidup yang tak mampu dipecahkan oleh nalar manusia. Sebab, sebagian besar kehidupan memang merupakan misteri Sang Pencipta.

Bagi manusia yang telah memahami hakikat itu, pada akhirnya mereka akan menerima kehidupan apa adanya, atau sebaliknya terus terjebak dalam lingkaran tuntutan dan penderitaan yang tiada henti. Pada tahap inilah ungkapan “Nak Mula Keto” yang dahulu dianggap sebagai lambang kebodohan, justru menjadi pernyataan yang menenangkan. Ungkapan ini terus diwariskan secara turun-temurun, diucapkan oleh para tetua Bali yang telah merasakan asam garam kehidupan.

“Nak Mula Keto,” 

Semua sudah sempurna adanya, apa lagi yang perlu diperbincangkan? “Tan kagrahita dening manah muang indriya.” Puput.

Demikian yadnya candi aksara sederhana ini, kurang lebih mohon maaf, suksma.

Om Shanti Shanti Shanti Om.

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post